rss
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites

Sabtu, 01 Desember 2012

Satu Detik yang Berlalu





Treeet….treeet….treeet
Akhirnya bel yang menjadi dambaan murid - murid SMAN 16 Jakarta terdengar juga.
Secepat kilat kubereskan segala macam buku paket beserta teman – temannya itu. Tak perlu waktu yang lama semua benda itu telah masuk dalam ransel unguku. Kemudian segera kususul sahabatku Azaria Pinanta Dewi yang sedari tadi berada di toilet. Azaria atau yang sering aku panggil Aca memang hobi sekali pergi ke toilet.

Berkali – kali kulihat jam tangan  Monol warna ungu milikku sambil mondar – mandir di depan toilet cewek SMAN 16. 

“Ca, cepetan donk! TKnya keburu tutup entar.”
“iya – iya Ra, tungguin bentar napa?nanggung nich.” Terdengar suara Aca dari sudut toilet sekolah.

Tak biasanya aku memperlakukan Aca seperti ini. Mungkin hari ini aku terlalu bersemangat untuk pergi bernostalgia ke TK masa kecilku, TK Tunas Bangsa. TK yang di dalamnya penuh dengan berbagai kenangan ketika aku dan Aca masih kecil.

Tak menghabiskan banyak waktu, kami sudah berada di sana. Kebetulan TK Tunas Bangsa tak jauh dari tempatku menimba ilmu sekarang. Sesampainya di sana kami segera duduk di atas ayunan dan meminum ice cream yang baru saja kita beli dari kantin sekolah. Sudah tak asing lagi tempat ini bagiku sehingga mataku yang sipit ini mencoba melihat – lihat area bermain di sekitarnya. Semuanya tak jauh berbeda dari yang dulu. Di bawah cemara yang rimbun itu masih terdapat jungkat – jungkit yang dulunya sering kumainkan bersama Aca. Di  sampingnya juga masih ada bangku kayu panjang yang sekarang sudah terlihat rapuh. Dulunya bangku itu sering dipakai bunda duduk. “BUNDA”, sebuah kata yang tiba – tiba ku ingat kembali. Semua kenangan tentangnya. Sungguh, aku merindukannya.

“Ra” Sapa Aca yang membuyarkan semua bayanganku tentang ibu.

Kemudian aku hanya tersenyum kecil saat melihatntya. Tak keluar satu katapun dari mulutku. Tiba – tiba saja kepala ini terasa berat bagaikan memikul beban.

“Ra…Rara, kamu nggak kenapa – kenapa kan?wajahmu pucat Ra. Kita pulang yuk!”

Kata – kata Aca tak mampu kudengarkan lagi. Tubuhku serasa tak berdaya, bumi ini bagaikan berputar, dan sungguh dada beserta pinggangku terasa sakit sekali. Entah apa yang terjadi pada diriku saat ini. Mungkinkah penyakit itu datang lagi?



v   

Pelan – pelan mataku terbuka hari ini. Aku melihat semua orang yang kusayangi berada di sampingku termasuk ayah. Seakan – akan aku sudah lama tak sadarkan diri. Terdengar suara ayah yang terlihat sangat khawatir “Rara, kamu sudah sadar sayang?”

“Ayah, aku dimana?”
“Kamu ada di rumah sakit sayang. Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.”
“Ayah, sakitku kambuh lagi ya?dan aku merepotkan kalian lagi?” Tetes air mataku tak dapat ku tahan lagi.
“Rara, kita semua di sini tak merasa direpotkan. Kita ingin kamu sembuh total. Sabar ya Nak!”
Aku hanya terdiam mendengarkan kata – kata ayah. Semua air mataku telah terurai deras. Seketika suasana haru melapisi ruangan 4x4 meter ini. Persis seperti peristiwa dua tahun silam.
“Mungkin sebentar lagi dokter akan menemukan pendonor yang tepat bagi kamu”. Ayah berusaha memelukku.
Namun entah setan apa yang telah merasukiku. Tiba – tiba saja dengan kasarnya aku melepaskan pelukan ayah. “Yah, dokter itu hanya janji yah. Tapi, apa nyatanya?Rara tetap seperti ini. Rara capek yah, Rara capek dengan semua suntikan yang hanya bisa menghambat kematian Rara.” Meski kondisiku masih terhitung lemah namun dengan terhuyung – huyung aku berusaha untuk berlari keluar dari kamar itu dan melepaskan semua jarum infuse yang melekat pada tanganku.

Aku belum bisa menerima semua kenyataan pahit ini. Semenjak dua tahun silam aku merasa kehilangan semangat hidup. Sosok seorang bunda yang sangat kubutuhkan justru pergi dan takkan pernah bisa kembali lagi. Dan di saat usiaku yang menginjak 19 tahun ini aku harus menerima kenyataan yang begitu pahit lagi. Aku terdiagnosa penyakit ginjal.

v   

“Lo suka liyatin bintang?” Sahut seseorang yang entah darimana datangnya.
“Nggak, gue cuma numpang nangis di sini. Siapa lo?”dengan sisa isak tangisku aku berusaha menjawab pertanyaan gadis yang terlihat sangat pucat dan berpakaian sepertiku itu.
“Safira Putri Mintari. Panggil aja gue Saffa. Lo sendiri siapa?”
“Gue Rara.” Jawabku singkat.
“Lo pasien baru di sini?” Tanyanya lagi.
“Ya, gue pasien baru di sini. Darimana lo tahu?Ngapain lo di sini?”
“Kamar gue ada di sebelah kamar lo dan nggak sengaja gue denger lo bertengkar dengan bokap lo. Ra, lo sebenarnya lebih beruntung dari gue. Tiga tahun lalu gue divonis kanker darah.     Berhari – hari bahkan berbulan – bulan gue harus dirawat di sini, entah itu disuntik lah,dikemo lah. Sampai – sampai lo tau sendiri kan rambut gue ini kayak apa? Kadang gue ngerasa kesepian banget nggak punya temen. Ya, siapa juga yang mau punya temen kayak gue gini? Padahal gue pengen banget punya sahabat yang bisa nemeni gue di saat – saat terakhir hidup gue, makanya gue sering ke sini sekedar untuk ngliyat bintang. Kadang bintang juga bisa jadi sahabat gue. ” Cerita Saffa dengan berusaha menahan air matanya.

Mendengar ucapan Saffa, membuatku tak mampu menahan air mataku. Saffa begitu tegar dan tetap tersenyum, meskipun kanker darah sudah menggerogoti tubuhnya hingga ia terlihat kurus kering dan mukanya pucat pasi. Sekarang aku sadar kenapa ayah dan bunda selalu mengajariku untuk bersabar dan ikhlas dalam menerima ujian ini. “Astagfirullahallazim” Kataku dalam hati. Semenjak itulah aku bersedia menjadi sahabat Saffa. Langit yang dipenuhi dengan bulan dan bintang menjadi saksi persahabatan kami. Beban berat yang tadinya membebaniku kini telah hilang entah kemana. Aku berjanji kepada Saffa untuk selalu menemaninya ketika menjalankan kemo dan diapun berjanji kepadaku untuk menemaniku saat operasi nanti.

“Terima kasih, Ra. Sekarang kembalilah ke kamarmu, mungkin ayahmu sudah mengkhawatirkanmu. Aku berharap tiga hari lagi kita bisa bertemu di taman ini.” Ucapnya dengan senyuman manis.
“Baiklah.” Tanpa berpikir panjang aku segera meninggalkanya dan segera pergi menuju kamar inapku.

v   

“Rara, ada kabar baik untuk kamu. Dokter sudah mendapatkan pendonor ginjal yang baik untuk kamu. Insyaallah dua hari lagi anak ayah akan dioperasi.” Ucap ayah sambil membawaku berjalan mengelilingi RS dengan kursi roda.
“Alhamdulilah ! Terima kasih Rabb. Tapi orang itu siapa yah ? Rara pengen bilang terima kasih buwat dia nantinya.”
“Ayah juga tidak tahu sayang. Si pendonor ginjal itu tidak ingin menyebutkan namanya. Tapi menurut dokter orang itu mengenal kamu.”
“ooo…! Ayah,berhenti!”
“Kenapa sayang?”
“Rara sepertinya kenal dengan suara orang di ruang kemo itu. Antarkan Rara ke sana ya yah ! Mungkin hari ini jadwal Saffa dikemo.”
“Ya sudah ayah antar.”
Namun, di tengah perjalanan seorang perawat menghentikan langkah kami. “Pak Dicki, anak Anda sudah ditunggu oleh dokter untuk menjalani pemeriksaan.”
“Baiklah suster, terima kasih.”
“Ra, nanti saja ya ke ruang kemonya. Dokter pasti sudah lama menunggu kamu.”
“Baiklah yah.” Jawabku singkat.

v   

Tepat pukul sembilan pagi ini aku akan menjalani operasi. Semenjak tiga hari yang lalu aku tak melihat Saffa sama sekali. Mungkin dia harus menjalani kemo atau yang lainnya sehingga aku berusaha untuk memahami. Mungkin semua orang yang menyayangiku sedang berdo’a di luar sana demi kelancaran operasiku. Sebenarnya aku takut. Namun, ini demi terlepasnya semua bebanku selama ini. Walaupun di hatiku masih bertanya – tanya siapa sebernanya orang yang telah rela mendonorkan ginjalnya untukku.

v   

Mentari pagi sungguh bersinar cerah seakan – akan menandakan aku sembuh. Ya, operasi yang kulakukan kemarin berjalan dengan lancar. Semuanya bersyukur kepada Illahi termasuk aku sendiri.

Hari ini aku tak sabar bertemu dengan sahabatku Saffa di taman RS, sekalian aku ingin berpamitan dengannya. Satu jam berlalu namun yang kutunggu  tak kunjung datang. “Dimana dia?Apa ucapannya kemarin hanya sebuah janji yang omong kosong. Tapi tidak mungkin Saffa seperti itu. Saffa adalah gadis yang baik.”Gumamku dalam hati.

 “Ayah,kenapa ayah di sini?”
“Ini surat buat kamu, dari Saffa.” Ayah menyodorkan sepucuk surat itu kepadaku.


To: Rara, sahabatku

Congratulation Zahra Nabila As Syakieb. Gimana operasinya berhasil kan ? uwch…gak bisa ikut seneng – seneng nih aku, hehe. Ra, maaf ya gue udah ngingkari janji yang gue buat sendiri. Maaf juga gue pergi tanpa pamitan dulu ke lo. Gue  tnggak mau kebahagiaan yang telah sahabat gue dapat tercampur dengan tetes kesedihan. Ra, ingat ya. Teruslah tersenyum untuk semua orang yang menyayangimu termasuk aku. Ya, walaupun kita tak lagi bersama. Lo di dunia, sedangkan gue di sini. Makasih selama ini udah mau jadi sahabat gue. Gue bangga Ra punya sahabat kayak lo. Oh y ague pesen…petikkan sebuah bintang persahabatan di peristirahatan terakhirku ya. Jangan lupa…beserta mawar merah ya! Upz…satu lagi,jangan kau coba untuk membasahi tempatku dengan tetes air matamu itu, okey?



Ingin rasanya aku memelukmu
Tuk terakhir kali aku pergi
Namun ku takut tak mampu
Menahan air mataku



Saffas
ebelum engkau pergi
Namun ku takut tak mampu
Menahan air mataku
                                                                                                                                                          


“Ayah….?Nggak yah!Saffa pasti masih hidup.” Dengan isakkan tangisku yang begitu keras. Ayahpun berusaha memeluk dan menenangkanku.

v   

Untuk kedua kalinya orang yang aku sayang harus pergi dan tak mungkin kembali lagi. Namun, demi Saffa aku berjanji untuk tetap menghadapi kenyataan ini. Safira Mintari Putri, seorang gadis yang mampu menyadarkanku sebuah arti hidup. Seorang yang datang dan pergi begitu saja. Meski singkat, tapi inilah kenyataannya.
Aku masih benar – benat tak percaya. Tiga hari lalu kita masih sama – sama terbaring di rumah sakit, namun sekarang?

“Saffa, aku datang. Aku datang dengan pilinan bintang dari mawar merah ini. Aku datang atas permintaanmu. Aku datang dengan sebagian tubuhmu. Aku datang Fa. Aku janji nggak akan membasahi tempatmu dengan tetes air mataku. Aku janji akan merawat sebagian tubuhmu ini. Aku juga janji nggak akan ngelupain semua kenangan tentang persahabatan kita. Fa, semoga kamu bahagia di sana. Terima kasih atas semua yang kau berikan untukku. Bintang persahabatan diantara kita akan selalu ada.” Aku berusaha menegarkan diri dan menahan semua rasa yang ada dalam benak dan hatiku. Sedetik telah berlalu, semenit yang akan kulampaui, dan satu jam yang harus kucapai.


0 komentar:

Posting Komentar