Treeet….treeet….treeet
Akhirnya
bel yang menjadi dambaan murid - murid SMAN 16 Jakarta terdengar juga.
Secepat
kilat kubereskan segala macam buku paket beserta teman – temannya itu. Tak
perlu waktu yang lama semua benda itu telah masuk dalam ransel unguku. Kemudian
segera kususul sahabatku Azaria Pinanta Dewi yang sedari tadi berada di toilet.
Azaria atau yang sering aku panggil Aca memang hobi sekali pergi ke toilet.
Berkali –
kali kulihat jam tangan Monol warna ungu
milikku sambil mondar – mandir di depan toilet cewek SMAN 16.
“Ca,
cepetan donk! TKnya keburu tutup entar.”
“iya – iya
Ra, tungguin bentar napa?nanggung nich.” Terdengar suara Aca dari sudut toilet
sekolah.
Tak
biasanya aku memperlakukan Aca seperti ini. Mungkin hari ini aku terlalu
bersemangat untuk pergi bernostalgia ke TK masa kecilku, TK Tunas Bangsa. TK
yang di dalamnya penuh dengan berbagai kenangan ketika aku dan Aca masih kecil.
Tak
menghabiskan banyak waktu, kami sudah berada di sana. Kebetulan TK Tunas Bangsa
tak jauh dari tempatku menimba ilmu sekarang. Sesampainya di sana kami segera
duduk di atas ayunan dan meminum ice
cream yang baru saja kita beli dari kantin sekolah. Sudah tak asing lagi
tempat ini bagiku sehingga mataku yang sipit ini mencoba melihat – lihat area
bermain di sekitarnya. Semuanya tak jauh berbeda dari yang dulu. Di bawah
cemara yang rimbun itu masih terdapat jungkat – jungkit yang dulunya sering
kumainkan bersama Aca. Di sampingnya
juga masih ada bangku kayu panjang yang sekarang sudah terlihat rapuh. Dulunya
bangku itu sering dipakai bunda duduk. “BUNDA”, sebuah kata yang tiba – tiba ku
ingat kembali. Semua kenangan tentangnya. Sungguh, aku merindukannya.
“Ra” Sapa
Aca yang membuyarkan semua bayanganku tentang ibu.
Kemudian
aku hanya tersenyum kecil saat melihatntya. Tak keluar satu katapun dari
mulutku. Tiba – tiba saja kepala ini terasa berat bagaikan memikul beban.
“Ra…Rara,
kamu nggak kenapa – kenapa kan?wajahmu pucat Ra. Kita pulang yuk!”
Kata – kata
Aca tak mampu kudengarkan lagi. Tubuhku serasa tak berdaya, bumi ini bagaikan
berputar, dan sungguh dada beserta pinggangku terasa sakit sekali. Entah apa
yang terjadi pada diriku saat ini. Mungkinkah penyakit itu datang lagi?
v
Pelan –
pelan mataku terbuka hari ini. Aku melihat semua orang yang kusayangi berada di
sampingku termasuk ayah. Seakan – akan aku sudah lama tak sadarkan diri.
Terdengar suara ayah yang terlihat sangat khawatir “Rara, kamu sudah sadar
sayang?”
“Ayah, aku
dimana?”
“Kamu ada
di rumah sakit sayang. Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.”
“Ayah,
sakitku kambuh lagi ya?dan aku merepotkan kalian lagi?” Tetes air mataku tak
dapat ku tahan lagi.
“Rara, kita
semua di sini tak merasa direpotkan. Kita ingin kamu sembuh total. Sabar ya
Nak!”
Aku hanya
terdiam mendengarkan kata – kata ayah. Semua air mataku telah terurai deras.
Seketika suasana haru melapisi ruangan 4x4 meter ini. Persis seperti peristiwa
dua tahun silam.
“Mungkin
sebentar lagi dokter akan menemukan pendonor yang tepat bagi kamu”. Ayah
berusaha memelukku.
Namun entah
setan apa yang telah merasukiku. Tiba – tiba saja dengan kasarnya aku
melepaskan pelukan ayah. “Yah, dokter itu hanya janji yah. Tapi, apa
nyatanya?Rara tetap seperti ini. Rara capek yah, Rara capek dengan semua
suntikan yang hanya bisa menghambat kematian Rara.” Meski kondisiku masih
terhitung lemah namun dengan terhuyung – huyung aku berusaha untuk berlari
keluar dari kamar itu dan melepaskan semua jarum infuse yang melekat pada
tanganku.
Aku belum
bisa menerima semua kenyataan pahit ini. Semenjak dua tahun silam aku merasa
kehilangan semangat hidup. Sosok seorang bunda yang sangat kubutuhkan justru
pergi dan takkan pernah bisa kembali lagi. Dan di saat usiaku yang menginjak 19
tahun ini aku harus menerima kenyataan yang begitu pahit lagi. Aku terdiagnosa
penyakit ginjal.
v
“Lo suka
liyatin bintang?” Sahut seseorang yang entah darimana datangnya.
“Nggak, gue
cuma numpang nangis di sini. Siapa lo?”dengan sisa isak tangisku aku berusaha
menjawab pertanyaan gadis yang terlihat sangat pucat dan berpakaian sepertiku
itu.
“Safira
Putri Mintari. Panggil aja gue Saffa. Lo sendiri siapa?”
“Gue Rara.”
Jawabku singkat.
“Lo pasien
baru di sini?” Tanyanya lagi.
“Ya, gue pasien
baru di sini. Darimana lo tahu?Ngapain lo di sini?”
“Kamar gue
ada di sebelah kamar lo dan nggak sengaja gue denger lo bertengkar dengan bokap
lo. Ra, lo sebenarnya lebih beruntung dari gue. Tiga tahun lalu gue divonis
kanker darah. Berhari – hari bahkan
berbulan – bulan gue harus dirawat di sini, entah itu disuntik lah,dikemo lah.
Sampai – sampai lo tau sendiri kan rambut gue ini kayak apa? Kadang gue ngerasa
kesepian banget nggak punya temen. Ya, siapa juga yang mau punya temen kayak
gue gini? Padahal gue pengen banget punya sahabat yang bisa nemeni gue di saat
– saat terakhir hidup gue, makanya gue sering ke sini sekedar untuk ngliyat
bintang. Kadang bintang juga bisa jadi sahabat gue. ” Cerita Saffa dengan
berusaha menahan air matanya.
Mendengar ucapan Saffa, membuatku tak mampu
menahan air mataku. Saffa
begitu tegar dan tetap tersenyum, meskipun kanker darah sudah menggerogoti
tubuhnya hingga ia terlihat kurus kering dan mukanya pucat pasi. Sekarang aku
sadar kenapa ayah dan bunda selalu mengajariku untuk bersabar dan ikhlas dalam
menerima ujian ini. “Astagfirullahallazim” Kataku dalam hati. Semenjak itulah
aku bersedia menjadi sahabat Saffa. Langit yang dipenuhi dengan bulan dan
bintang menjadi saksi persahabatan kami. Beban berat yang tadinya membebaniku
kini telah hilang entah kemana. Aku berjanji kepada Saffa untuk selalu
menemaninya ketika menjalankan kemo dan diapun berjanji kepadaku untuk
menemaniku saat operasi nanti.
“Terima
kasih, Ra. Sekarang kembalilah ke kamarmu, mungkin ayahmu sudah mengkhawatirkanmu.
Aku berharap tiga hari lagi kita bisa bertemu di taman ini.” Ucapnya dengan
senyuman manis.
“Baiklah.” Tanpa
berpikir panjang aku segera meninggalkanya dan segera pergi menuju kamar
inapku.
v
“Rara, ada
kabar baik untuk kamu. Dokter sudah mendapatkan pendonor ginjal yang baik untuk
kamu. Insyaallah dua hari lagi anak ayah akan dioperasi.” Ucap ayah sambil
membawaku berjalan mengelilingi RS dengan kursi roda.
“Alhamdulilah
! Terima kasih Rabb. Tapi orang itu siapa yah ? Rara pengen bilang terima kasih
buwat dia nantinya.”
“Ayah juga
tidak tahu sayang. Si pendonor ginjal itu tidak ingin menyebutkan namanya. Tapi
menurut dokter orang itu mengenal kamu.”
“ooo…!
Ayah,berhenti!”
“Kenapa
sayang?”
“Rara
sepertinya kenal dengan suara orang di ruang kemo itu. Antarkan Rara ke sana ya
yah ! Mungkin hari ini jadwal Saffa dikemo.”
“Ya sudah
ayah antar.”
Namun, di
tengah perjalanan seorang perawat menghentikan langkah kami. “Pak Dicki, anak
Anda sudah ditunggu oleh dokter untuk menjalani pemeriksaan.”
“Baiklah suster,
terima kasih.”
“Ra, nanti
saja ya ke ruang kemonya. Dokter pasti sudah lama menunggu kamu.”
“Baiklah
yah.” Jawabku singkat.
v
Tepat pukul
sembilan pagi ini aku akan menjalani operasi. Semenjak tiga hari yang lalu aku
tak melihat Saffa sama sekali. Mungkin dia harus menjalani kemo atau yang
lainnya sehingga aku berusaha untuk memahami. Mungkin semua orang yang
menyayangiku sedang berdo’a di luar sana demi kelancaran operasiku. Sebenarnya
aku takut. Namun, ini demi terlepasnya semua bebanku selama ini. Walaupun di
hatiku masih bertanya – tanya siapa sebernanya orang yang telah rela
mendonorkan ginjalnya untukku.
v
Mentari
pagi sungguh bersinar cerah seakan – akan menandakan aku sembuh. Ya, operasi
yang kulakukan kemarin berjalan dengan lancar. Semuanya bersyukur kepada Illahi
termasuk aku sendiri.
Hari ini
aku tak sabar bertemu dengan sahabatku Saffa di taman RS, sekalian aku ingin
berpamitan dengannya. Satu jam berlalu namun yang kutunggu tak kunjung datang. “Dimana dia?Apa ucapannya
kemarin hanya sebuah janji yang omong kosong. Tapi tidak mungkin Saffa seperti
itu. Saffa adalah gadis yang baik.”Gumamku dalam hati.
“Ayah,kenapa ayah di sini?”
“Ini surat
buat kamu, dari Saffa.” Ayah menyodorkan sepucuk surat itu kepadaku.
To: Rara, sahabatku
Congratulation Zahra Nabila
As Syakieb. Gimana operasinya berhasil kan ? uwch…gak bisa ikut seneng – seneng
nih aku, hehe. Ra, maaf ya gue udah ngingkari janji yang gue buat sendiri. Maaf
juga gue pergi tanpa pamitan dulu ke lo. Gue
tnggak mau kebahagiaan yang telah sahabat gue dapat tercampur dengan
tetes kesedihan. Ra, ingat ya. Teruslah tersenyum untuk semua orang yang
menyayangimu termasuk aku. Ya, walaupun kita tak lagi bersama. Lo di dunia,
sedangkan gue di sini. Makasih selama ini udah mau jadi sahabat gue. Gue bangga
Ra punya sahabat kayak lo. Oh y ague pesen…petikkan sebuah bintang persahabatan
di peristirahatan terakhirku ya. Jangan lupa…beserta mawar merah ya! Upz…satu
lagi,jangan kau coba untuk membasahi tempatku dengan tetes air matamu itu,
okey?
Ingin rasanya aku
memelukmu
Tuk terakhir kali aku
pergi
Namun ku takut tak mampu
Menahan air mataku
Saffas
ebelum
engkau pergi
Namun ku takut tak mampu
Menahan air mataku
Namun ku takut tak mampu
Menahan air mataku
“Ayah….?Nggak
yah!Saffa pasti masih hidup.” Dengan isakkan tangisku yang begitu keras.
Ayahpun berusaha memeluk dan menenangkanku.
v
Untuk kedua
kalinya orang yang aku sayang harus pergi dan tak mungkin kembali lagi. Namun,
demi Saffa aku berjanji untuk tetap menghadapi kenyataan ini. Safira Mintari
Putri, seorang gadis yang mampu menyadarkanku sebuah arti hidup. Seorang yang
datang dan pergi begitu saja. Meski singkat, tapi inilah kenyataannya.
Aku masih
benar – benat tak percaya. Tiga hari lalu kita masih sama – sama terbaring di
rumah sakit, namun sekarang?
“Saffa, aku
datang. Aku datang dengan pilinan bintang dari mawar merah ini. Aku datang atas
permintaanmu. Aku datang dengan sebagian tubuhmu. Aku datang Fa. Aku janji
nggak akan membasahi tempatmu dengan tetes air mataku. Aku janji akan merawat
sebagian tubuhmu ini. Aku juga janji nggak akan ngelupain semua kenangan
tentang persahabatan kita. Fa, semoga kamu bahagia di sana. Terima kasih atas
semua yang kau berikan untukku. Bintang persahabatan diantara kita akan selalu
ada.” Aku berusaha menegarkan diri dan menahan semua rasa yang ada dalam benak
dan hatiku. Sedetik telah berlalu, semenit yang akan kulampaui, dan satu jam yang
harus kucapai.
0 komentar:
Posting Komentar